Kusudahi pelukan kelopak kepada
mata. Sesegera mungkin aku menuju dapur untuk meracik secangkir teh yang akan
menemaniku membaca literasi Tuhan berjudul “Fajar” ini. Setelah itu kubuka pintu dan kusaksikan malam mulai
berkemas. Ia membungkus bulan, bintang dan lampu kota. Bersiap berkelana
mencari ladang baru untuknya singgah. Ia sadar, bahwa, sebesar apapun keindahan
yang ia miliki, jika bumi tak lagi merasa nyaman maka malam tetap harus
beranjak. Karena, ia tak ingin melukai bumi dengan dinginnya. Lalu ia
melambaikan tangan melalui suara adzan. Kemudian perlahan mentari membentuk
senyumnya yang lirih. Dedaunan bersorak-ria bersama angin. Awan-awan tersipu
malu berarakan mencari kawanan. Dan embun-embun terbang tenang mencari jalan
pulang.
Seiring detik melingkar, aku
masih setia memandang langit pagi yang menyimpan sisa-sisa gelap dari sang
malam. Tapi, aku merasa bahwa malam tak hanya menyisakan gelap. Kurasa ia juga
menyisipkan sebuah bingkisan rindu untukku yang terbuat dari jarak dan waktu.
Saat kulihat bingkisan itu, tertera sebuah nama : Anggun Sekar Putri, kekasihku
kini menjadi kekasih para dewa di surga. Entah aku harus bersyukur atau justru
muak. Bingkisan itu memaksa anganku untuk beranjak menelusuri memori-memori
kusam yang membuat fikiranku lebam. Aku masih tidak menyangka, jika, pertemuan
dua bulan lalu adalah pertemuan terakhirku dengannya di dunia. Aku tidak
menyangka bahwa lambaian tangan itu adalah pertanda bahwa sebuah daun akan
gugur. Sekuat apapun ranting menggenggam daun, jika waktu sebagai wujud dari
takdir Tuhan berkehendak memutus ikatan, maka keikhlasan adalah satu-satunya jalan
untuk berjalan. Dan disaat kita telah kehilangan sesuatu, maka di situlah kita
akan benar-benar menyadari betapa hal tersebut sangat berharga.
Anggun adalah seseorang yang
sangat mencintai alam. Dan rasa cintanya terhadap alam telah meleburkan dirinya
bersama alam. Ia menganggap bahwa gunung adalah rumah bagi segala gundah dan
resah. Dari sanalah ia belajar untuk menjadi pribadi yang dewasa namun tetap
sederhana. Dan kedewasaan serta kesederhanaan yang ia miliki itu adalah beberapa
alasan diantara alasan lain mengapa aku mencintainya. Ia bukan hanya sekedar
seorang kekasih. Terkadang ia adalah guru untukku mendewasakan diri. Dan
tentunya, ia adalah salah secuil sayap yang membantuku terbang menembus awan,
mengitari bukit-bukit. Jika aku tangan kanan, maka dia adalah tangan kiri. Jika
aku awan mendung, maka dia adalah hujan. Jika aku adalah aku, maka dia adalah
dia. Dia tidak pernah berusaha menjadi orang lain untuk membuatnya terlihat
sempurna bagiku. Ia selalu hadir sebagai dirinya beserta kekurangan dan
masalalunya.
Aku masih ingat ketika aku
kehilangan kucing kesayanganku. Di saat aku terlihat menyalahkan dan menghujat
keadaan, ia berkata, “Kehilangan adalah sesuatu yang wajar. Yang tidak wajar
adalah ketika engkau getir untuk menghadapinya sedang kau tau di dunia ini
tidak ada yang abadi. Seolah kau tidak menghargai Tuhan beserta takdir yang
telah Ia tentukan. Kau boleh merasa kehilangan dan menyesalinya, tetapi jangan
sampai engkau hanyut dan larut dalam penyesalan. Segalanya yang telah lahir
dari ketiadaan akan kembali menuju ketiadaan. Engkau harus belajar menerima
ketiadaan agar engkau tidak sakit jiwa”. Meskipun doa adalah satu-satunya cara
untukku menggenggam tangannya, hidup harus terus maju. Aku tidak ingin menjadi
budak dari perasaanku. Kehilangan kekasih yang kita sayang bukan berarti juga
kita kehilangan jalan untuk hidup. Aku telah merangkai sebuah tujuan hidup,
maka aku harus tetap mencari cara untuk mencapainya. Memang kehilangan orang
yang kita sayang adalah sesuatu yang menyakitkan. Tapi, jika aku terus menuruti
perasaanku, maka aku bukanlah manusia. Aku sadar mengapa manusia memiliki
bentuk tubuh yang berbeda dengan kebanyakan makhluk hidup lainnya. Kita memilki
otak yang berada diatas hati dan alat kelamin berada di tempat yang paling
bawah. Aku memaknainya agar kita lebih bisa menggunakan fikiran dalam bertindak.
Tetapi, tidak melupakan perasaan jika ingin dianggap sebagai manusia yang
hidup. Karena orang mati bukan hanya saat nyawanya berpisah dengan raga saja.
Saat hati seseorang itu mati, kita juga bisa menganggapnya orang yang telah
mati atau hidup tetapi seperti babi di hutan yang hidup hanya sekedar bernafas
dan bergerak tanpa memiliki perasaan. Dan kita harus mengendalikan nafsu kita. Sedangkan
hewan, kebanyakan dari mereka memiliki otak, hati dan alat kelamin yang
sejajar. Jika antara logika, perasaan dan nafsu sama kuatnya, mungkin akan
sulit untuk menentukan jalan yang benar. Sama seperti jika dalam sebuah organisasi
semua anggotanya berkedudukan sama, tidak akan ada yang bisa mengambil
keputusan. Jika demikian, mungkin tujuan hanyalah sekedar harapan.
image source : https://blueismycolour.com/2010/09/12/fajar-n-sejajar/
Diksi mu keren zaaa ��
BalasHapusMakasih yang lebih keren wkwkwk
Hapus