I. Sebuah Fajar Saat Senja


Ada burung kondor sedang menyanyikan tembang kematian. Ada bayi sedang berpuisi dengan matanya yang suci. Ada Nietzsche di padang senja sedang melantunkan Sabda Zarathustra. Dan aku di sini berpayung langit senja sedang mendengarkan langit berpuisi tentang kegelisahannya di tanah bumi sembari mataku sibuk meraba aksara. Aku berterimakasih pada Tuhan, karena, Ia telah menyuguhkan sepotong senja yang mengobati segala resah dan gundah. Dan semuanya lebih indah saat secangkir kopi perlahan berenang melalui kerongkonganku untuk mengajarkanku bahwa kejujuran yang pahit akan lebih nikmat daripada sebuah dusta yang manis. Seperti saat ia tidak pernah berusaha menyembunyikan pahitnya, dan itulah mengapa aku mencintainya. 
Aku sangat menikmati suasana ini sehingga aku lupa kapan terakhir mataku mencuri waktu untuk berkedip. Waktu berlalu begitu cepat. Iringan musik khas milik Banda Neira-pun turut menghangatkan suasana. Lalu angin dingin berbisik kepadaku, bahwa hujan mulai reda. Kemudian tampak sesosok gadis datang dari balik pintu. Seorang gadis berambut blonde dengan kaus berwarna hitam polos dan celana jeans berlobang di lututnya lengkap dengan sepatu casual warna hitam. Satu hal yang menarik perhatianku adalah, dia menenteng sebuah buku bertuliskan “Manusia Pemberontak” karangan Albert Camus. Sebuah literasi yang hingga saat ini mataku belum bisa menyeduhnya. Lalu sedikit kuperhatikan, bola matanya mencoba untuk meraba seisi ruangan. Tampak ia mencari bangku kosong untuk menampung tubuhnya. Aku merasa sudah cukup puas menikmati senja ini. Kurasa aku harus beranjak pergi dan membiarkan gadis itu menyinggahi lahan tempatku bercumbu dengan senja. Perlahan kakiku melangkah. Tak lupa mataku yang telah beranjak dewasa ini melakukan rutinitas nakalnya, diam-diam melirik gadis itu sebagai sebuah ritual manifestasi naluri lelaki. 
      Sepertinya jiwa tak kunjung jenuh memeluk senja. Ditambah lagi hujan baru saja reda menyisakan ketenangan tersendiri melalui aromanya yang melebur bersama udara. Aku melihat speedometer dan kulihat angka dua puluh duduk tenang dibawah jarum hitam kecil.  Saat sebelum melewati sebuah simpang tiga, sebuah mobil sedan berhenti tiba-tiba tanpa memberi isyarat apapun. Seketika lidahku meneteskan puisi, “Anji*g!”. Dengan hati menggenggam emosi, perlahan kulewati mobil itu. Sepertinya sang supir menyadari kesalahannya dan melihat ke arahku sambil berkata dengan nada lirih, “maaf, mas!”. Suasana menjadi berubah. Gumpalan emosi yang membekukan hati telah meleleh oleh suasana. Bukan, bukan hanya karena kata “maaf” itu. Tetapi, karena orang yang mengucapkannya adalah sesosok ibu dengan mengenakan baju kantoran. Aku mencoba memositifkan suasana. Mungkin ibu itu sedang lelah. Mungkin jika ibuku dalam kondisi yang sama, bukan tidak mungkin ibuku juga akan melakukan kesalahan yang sama. Selain itu, bukankah melakukan kesalahan tak disengaja adalah hal yang manusiawi? Aku juga tidak ingin jika pada detik, menit, atau hari berikutnya orang enggan memberikan toleransi  saat aku melakukan kesalahan kecil yang tak sengaja. Karena aku percaya, bahwa, apa yang akan kita lakukan, itulah yang akan kita dapatkan. Alur kehidupan setia berputar pada porosnya.
           Setibanya di rumah, aku melihat cermin yang bertolak pada dinding. Sebuah gelisah hinggap di kepalaku. Hari ini rasa-rasanya aku terlalu mudah tersinggung dan terlalu emosional. Mungkin aku butuh menenangkan diri. Aku butuh sebuah meditasi sehingga aku kembali hidup. Karena mati bukan hanya saat nyawa melambai pada raga. Tetapi, juga saat hati kita mati. Itulah yang lebih berbahaya. Karena dampaknya bukan hanya pada diri sendiri. Bisa saja hati yang mati ikut membunuh kebahagiaan dan ketenangan orang lain. Sebaiknya aku bergegas untuk mandi dan menata diri sehingga aku kembali merasa nyaman setelah fikiranku lelah menjelajahi kehidupan hari ini. Kemudian aku bersantai sambil menunggu mata ini ingin menutup tirai.



Image Source : http://basabasi.co/seorang-gadis-di-dalam-senja/




0 komentar:

Posting Komentar

Previous Posting Lebih Baru
I. Sebuah Fajar Saat Senja