Aku sangat
menikmati suasana ini sehingga aku lupa kapan terakhir mataku mencuri waktu
untuk berkedip. Waktu berlalu begitu cepat. Iringan musik khas milik Banda
Neira-pun turut menghangatkan suasana. Lalu angin dingin berbisik kepadaku,
bahwa hujan mulai reda. Kemudian tampak sesosok gadis datang dari balik pintu.
Seorang gadis berambut blonde dengan kaus berwarna hitam polos dan celana jeans berlobang di lututnya lengkap
dengan sepatu casual warna hitam.
Satu hal yang menarik perhatianku adalah, dia menenteng sebuah buku bertuliskan
“Manusia Pemberontak” karangan Albert Camus. Sebuah literasi yang hingga saat
ini mataku belum bisa menyeduhnya. Lalu sedikit kuperhatikan, bola matanya
mencoba untuk meraba seisi ruangan. Tampak ia mencari bangku kosong untuk
menampung tubuhnya. Aku merasa sudah cukup puas menikmati senja ini. Kurasa aku
harus beranjak pergi dan membiarkan gadis itu menyinggahi lahan tempatku
bercumbu dengan senja. Perlahan kakiku melangkah. Tak lupa mataku yang telah
beranjak dewasa ini melakukan rutinitas nakalnya, diam-diam melirik gadis itu
sebagai sebuah ritual manifestasi naluri lelaki.
Sepertinya
jiwa tak kunjung jenuh memeluk senja. Ditambah lagi hujan baru saja reda menyisakan
ketenangan tersendiri melalui aromanya yang melebur bersama udara. Aku melihat speedometer dan kulihat angka dua puluh
duduk tenang dibawah jarum hitam kecil. Saat
sebelum melewati sebuah simpang tiga, sebuah mobil sedan berhenti tiba-tiba
tanpa memberi isyarat apapun. Seketika lidahku meneteskan puisi, “Anji*g!”. Dengan
hati menggenggam emosi, perlahan kulewati mobil itu. Sepertinya sang supir
menyadari kesalahannya dan melihat ke arahku sambil berkata dengan nada lirih, “maaf,
mas!”. Suasana menjadi berubah. Gumpalan emosi yang membekukan hati telah
meleleh oleh suasana. Bukan, bukan hanya karena kata “maaf” itu. Tetapi, karena
orang yang mengucapkannya adalah sesosok ibu dengan mengenakan baju kantoran. Aku
mencoba memositifkan suasana. Mungkin ibu itu sedang lelah. Mungkin jika ibuku dalam
kondisi yang sama, bukan tidak mungkin ibuku juga akan melakukan kesalahan yang
sama. Selain itu, bukankah melakukan kesalahan tak disengaja adalah hal yang manusiawi?
Aku juga tidak ingin jika pada detik, menit, atau hari berikutnya orang enggan
memberikan toleransi saat aku melakukan
kesalahan kecil yang tak sengaja. Karena aku percaya, bahwa, apa yang akan kita
lakukan, itulah yang akan kita dapatkan. Alur kehidupan setia berputar pada
porosnya.
Setibanya
di rumah, aku melihat cermin yang bertolak pada dinding. Sebuah gelisah hinggap
di kepalaku. Hari ini rasa-rasanya aku terlalu mudah tersinggung dan terlalu emosional.
Mungkin aku butuh menenangkan diri. Aku butuh sebuah meditasi sehingga aku
kembali hidup. Karena mati bukan hanya saat nyawa melambai pada raga. Tetapi,
juga saat hati kita mati. Itulah yang lebih berbahaya. Karena dampaknya bukan
hanya pada diri sendiri. Bisa saja hati yang mati ikut membunuh kebahagiaan dan
ketenangan orang lain. Sebaiknya aku bergegas untuk mandi dan menata diri
sehingga aku kembali merasa nyaman setelah fikiranku lelah menjelajahi
kehidupan hari ini. Kemudian aku bersantai sambil menunggu mata ini ingin menutup
tirai.
Image Source : http://basabasi.co/seorang-gadis-di-dalam-senja/
0 komentar:
Posting Komentar